Hak untuk Mendapatkan Pembelaan Hukum yang Adil dalam Sengketa Perdata

Sengketa perdata adalah perselisihan yang terjadi antara dua pihak atau lebih yang berkaitan dengan hak dan kewajiban dalam hubungan hukum privat. Pihak-pihak yang terlibat biasanya adalah individu atau badan hukum yang memiliki kepentingan pribadi atau bisnis. Contoh umum sengketa perdata meliputi:[1]

  • Perselisihan kontrak atau perjanjian
  • Sengketa warisan
  • Sengketa utang-piutang
  • Masalah kepemilikan atau sewa-menyewa properti
  • Perselisihan dalam hubungan kerja atau kemitraan bisnis

Tujuan dari penyelesaian sengketa perdata adalah untuk mengembalikan hak pihak yang dirugikan melalui proses hukum, baik secara litigasi maupun non-litigasi.

Dalam menghadapi sengketa perdata, setiap pihak yang berperkara memiliki hak yang dijamin oleh hukum untuk memastikan proses berjalan adil. Salah satu hak paling mendasar adalah hak untuk mengajukan gugatan sebagaimana diatur dalam Pasal 118 HIR (Herzien Inlandsch Reglement) yang menyatakan bahwa gugatan perdata diajukan secara tertulis atau lisan kepada ketua pengadilan negeri di wilayah hukum tergugat. Artinya, setiap individu yang merasa dirugikan secara hukum memiliki hak untuk membawa perkaranya ke pengadilan.[2]

Hal ini sejalan dengan apa yang diamanatkan dalam Pasal 28D Ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.[3]

Berkaitan dengan hal tersebut, pihak yang berperkara memiliki hak atas bantuan hukum dalam hal menunjuk kuasa hukum untuk mewakili dan bertindak atas nama pihak yang berperkara, sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat yang pada dasarnya menyebutkan Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini.[4]

Adapun negara menjamin adanya bantuan hukum untuk pihak berperkara yang kurang mampu dalam menghadapi proses persidangan dalam rangka penyelesaian sengketa perdata. Hal ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum, yang pada dasarnya menjelaskan Bantuan Hukum diberikan kepada penerima bantuan hukum meliputi setiap orang atau kelompok orang miskin yang tidak dapat memenuhi hak dasar secara layak dan mandiri, yang menghadapi masalah hukum salah satunya adalah masalah hukum keperdataan.

Pihak yang berperkara juga memiliki hak untuk membela diri dan mengajukan bukti selama persidangan. Hal ini sesuai dengan ketentuan yang termuat dalam Pasal 163 HIR yang pada dasarnya menyatakan “Barangsiapa yang mengaku mempunyai hak atau yang mendasarkan pada suatu peristiwa untuk menguatkan haknya itu atau untuk menyangkal hak orang lain, harus membuktikan adanya hak atau peristiwa itu”.[5]

Selanjutnya, apabila pihak yang berperkara menolak putusan hakim, maka dapat menggunakan haknya untuk mengajukan upaya hukum, sebagaimana diamantkan dalam beberapa peraturan perundang-undangan antara lain dalam Pasal 191, Pasal 199, dan Pasal 385 HIR serta Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 dan Undang-Undang No. 3 Tahun 2009.

Kesimpulan:

Pada pokoknya, dalam sistem hukum perdata terdapat asas persamaan di hadapan hukum (equality before the law) yang menjamin bahwa semua pihak yang berperkara memiliki kedudukan yang setara di mata hukum, ini berarti baik Penggugat maupun Tergugat memiliki hak yang sama untuk membela diri, mengajukan bukti, menghadirkan saksi, dan menggunakan bantuan hukum selama proses penyelesaian sengketa perdata. Hak yang sama dalam proses penyelesaian sengketa perdata diwujudkan dalam beberapa bentuk, antara lain sebagai berikut:

  1. Memiliki akses yang sama ke pengadilan.

Setiap pihak berhak untuk mengajukan ataupun menanggapi gugatan di pengadilan.

  1. Para pihak yang berperkara memiliki kesempatan yang sama untuk menyampaikan pembelaan

Setiap pihak yang berperkara diberikan kesempatan yang adil untuk menyampaikan pembelaan, pendapat hukum, membantah dalil lawan, dan mengajukan bukti untuk mendukung dalil-dalilnya pada setiap tahapan-tahapan proses persidangan. Adapun tahapan-tahapan proses persidangan secara garis besar adalah sebagai berikut: Gugatan Penggugat, Jawaban Tergugat, Replik Penggugat, Duplik Tergugat, Rereplik Penggugat, Reduplik Tergugat, Pembuktian Penggugat, Pembuktian Tergugat, Kesimpulan Penggugat dan Tergugat.

  1. Hak atas bantuan hukum

Pihak yang berperkara dalam mengajukan permohonan untuk mendapatkan bantuan hukum, baik itu melalui Advokat sebagai kuasa hukum maupun bantuan hukum secara cuma-cuma bagi pihak yang kurang mampu.

  1. Putusan hakim yang tidak memihak

Salah satu peran hakim dalam mewujudkan asas keadilan dan kepastian hukum adalah dengan putusan hakim yang tidak memihak, Dalam menjatuhkan putusan, hakim harus sesuai dengan tujuan sejatinya yaitu memberikan kesempatan yang sama bagi pihak yang berperkara di pengadilan dan mengakui adanya persamaan hak dan kewajiban kedua belah pihak.

Reference:

[1] Willa Wahyuni, “Cara Penyelesaian Sengketa Perdata Umum di Pengadilan Negeri”, diakses dari situs Cara Penyelesaian Sengketa Perdata Umum di Pengadilan Negeri.

[2] Herzien Inlandsch Reglement (HIR), Pasal 118. HIR.

[3] Undang-Undang Dasar Tahun 1945, Pasal 28D ayat (1).

[4] Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, Pasal 1 ayat (1).

[5] Herzien Inlandsch Reglement (HIR), Pasal 163. HIR.