Menghadapi PHK: Solusi Hukum dan Langkah Pencegahan

AWAL Clients, Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) merupakan kondisi yang umumnya tidak diharapkan baik oleh pekerja maupun pihak perusahaan. Meski demikian, dalam realitas dunia bisnis yang terus berkembang dan penuh dinamika, situasi ini kerap menjadi hal yang tak terhindarkan. Apalagi di tengah ketidakstabilan ekonomi, kemajuan teknologi yang pesat, serta tantangan global, potensi terjadinya PHK semakin meningkat.

PHK bisa dialami oleh siapa saja dalam pekerjaan profesional, dengan latar belakang penyebab yang beragam. Salah satu penyebab yang kerap ditemui adalah perubahan struktur organisasi. Perusahaan terkadang perlu menata ulang susunan internalnya untuk meningkatkan efisiensi operasional, yang bisa berdampak pada pengurangan jumlah pekerja di beberapa posisi. Selain itu, kemajuan teknologi dan otomatisasi juga menjadi pemicu utama.[1]  Banyak tugas yang sebelumnya dikerjakan oleh manusia kini diambil alih oleh mesin atau sistem digital, yang dianggap lebih efektif dan hemat biaya. Faktor lain yang juga sering menjadi alasan adalah kinerja individu. Ketika pekerja tidak mampu mencapai target atau memenuhi standar pekerjaan yang telah ditetapkan, perusahaan dapat mempertimbangkan opsi pemutusan kerja. Pelanggaran terhadap ketentuan kerja, seperti ketidakpatuhan terhadap aturan perusahaan atau pelanggaran etika, juga termasuk dalam alasan yang dapat memicu PHK. Selain aspek internal, ada pula faktor eksternal yang berpengaruh signifikan, seperti ketidakstabilan ekonomi, pandemi global, atau penurunan permintaan pasar. Kondisi ini seringkali memaksa perusahaan untuk memangkas biaya dengan cara mengurangi jumlah pekerja.

Memahami berbagai pemicu PHK sangat penting, baik bagi pekerja agar dapat lebih siap menghadapi kemungkinan tersebut, maupun bagi perusahaan agar dapat mengambil keputusan secara bijaksana dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Negara menjamin perlindungan terhadap tenaga kerja beserta hak-haknya. Hubungan kerja terbentuk atas dasar kesepakatan kedua belah pihak, sehingga PHK secara sepihak tanpa persetujuan pekerja tidak dapat dibenarkan. Berdasarkan Pasal 61 pada Bab IV Ketenagakerjaan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang, perjanjian kerja berakhir jika:

  1. Pekerja/buruh meninggal dunia
  2. Berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja
  3. Selesainya suatu pekerjaan tertentu
  4. Adanya putusan pengadilan dan/atau putusan lembaga penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap
  5. Adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama yang dapat menyebabkan berakhirnya Hubungan Kerja

PHK harus dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan seperti UU Ketenagakerjaan dan UU Cipta Kerja. Perusahaan harus memberikan surat pemberitahuan yang berisi alasan PHK dan disampaikan kepada pekerja paling lama 14 hari kerja sebelum PHK. Apabila pekerja tidak menolak PHK maka perusahaan akan melaporkan kepada Kementerian Ketenagakerjaan dan/atau dinas di bidang ketenagakerjaan provinsi dan kabupaten/kota. Sedangkan, apabila pekerja menolak PHK, pekerja membuat surat penolakan berisi alasan menolak PHK paling lama 7 hari kerja sejak diterimanya surat pemberitahuan tersebut.

Di samping itu, apabila terjadi perselisihan pendapat selanjutnya akan diselesaikan melalui perundingan bipartit. Jika tidak tercapai kesepakatan, maka perselisihan tersebut diselesaikan melalui mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial, yang mana salah satu pihak dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial. Namun, apabila pada tahapan perundingan bipartit maupun konsiliasi tercapai kesepakatan akan dibuat perjanjian bersama yang disepakati dan ditandatangani oleh para pihak.

Berkaitan dengan pencegahan dilakukannya PHK, dalam situasi ekonomi yang penuh ketidakpastian, ancaman PHK sering kali membayangi perusahaan dan pekerja. Namun, PHK bukan satu-satunya jalan keluar. Dengan kerja sama yang baik antara manajemen dan pekerja, berbagai langkah pencegahan dapat diupayakan demi menjaga keberlangsungan usaha dan kesejahteraan semua pihak.[2]  Dari sisi perusahaan, langkah pertama adalah memperkuat fondasi bisnis dengan cara diversifikasi pendapatan. Perusahaan yang tidak bergantung pada satu produk atau pasar akan lebih tahan terhadap guncangan. Di saat yang sama, efisiensi operasional menjadi kunci. Tanpa harus memangkas tenaga kerja, perusahaan bisa melakukan optimalisasi proses, menggunakan teknologi untuk otomatisasi, atau meninjau kembali pengeluaran yang kurang produktif.

Jika tekanan ekonomi tidak bisa dihindari, manajemen dapat menawarkan skema kerja yang lebih fleksibel kepada pekerja seperti pengurangan jam kerja, cuti bergilir, atau kerja paruh waktu alih-alih mengambil langkah PHK. Sementara itu, investasi dalam pelatihan ulang dan pengembangan keterampilan pekerja juga menjadi strategi penting. Dengan meningkatkan kemampuan tenaga kerja, perusahaan dapat lebih leluasa memindahkan pekerja ke peran yang lebih relevan saat kebutuhan bisnis berubah. Kunci keberhasilan semua upaya ini adalah komunikasi yang transparan. Dengan membuka kondisi sebenarnya kepada pekerja, manajemen akan membangun kepercayaan dan menciptakan ruang untuk dialog. Melibatkan serikat pekerja atau perwakilan pekerja dalam perumusan solusi bersama juga bisa memperkuat rasa memiliki dan tanggung jawab kolektif.

Di sisi lain, pekerja pun memegang peranan besar dalam menjaga keberlanjutan pekerjaannya. Dengan meningkatkan keterampilan melalui pelatihan dan sertifikasi, pekerja memperbesar nilai tambah yang dimilikinya di mata perusahaan. Fleksibilitas dalam mengambil tanggung jawab di luar deskripsi kerja dan keterlibatan dalam berbagai proyek menunjukkan inisiatif yang tinggi. Selain itu, membangun hubungan baik di lingkungan kerja dan memperluas jejaring professional (networking) menjadi investasi sosial yang penting. Pekerja yang memahami dinamika bisnis perusahaan dan aktif memberikan kontribusi yang relevan akan selalu menjadi aset berharga.

Pada akhirnya, mencegah PHK bukan sekedar strategi bisnis, tetapi tentang bagaimana perusahaan dan pekerja bisa saling menguatkan dan beradaptasi. Dengan keterbukaan, solidaritas, dan kemauan untuk bertumbuh bersama, tantangan yang ada dapat dihadapi tanpa harus mengorbankan masa depan pihak manapun.

Reference:

[1] Willa Wahyuni, “Perlindungan PHK Sepihak dalam Undang – Undang”, diakses dari situs Upaya Hukum Jika Terjadi PHK Sepihak

[2] Ady, “Bagaimana Cara Menghindari PHK? Ini Saran Kemenakar”, diakses dari situs Bagaimana Cara Menghindari PHK? Ini Saran Kemenaker